Our Feeds

Selamat Mengaji

Mengaji Sepanjang Hari

Jumat, 03 Agustus 2018

Pondok Pesantren Al-Qur'an At-Tijany

Islam Wasathiyah dalam Mewujudkan Kesejahteraan Indonesia

Penulis sedang mengikuti lomba MMQ (2018)


Oleh:
Muhammad Syakir Niamillah Fiza

Pendahuluan

Dunia masih saja dipenuhi dengan praktik terorisme yang bersumber dari pemahaman yang radikal. Para pelaku mendasari tindakan mereka dengan teks-teks agama. Mereka memandang teks sebagai murni teks dengan menafikan konteksnya. Contohnya, ayat-ayat perang yang mereka jadikan landasan tindakan digunakan serampangan. Padahal suasana lingkungannya sedang damai.

Hal itu pun terjadi di bumi Indonesia. Bom surabaya beberapa bulan lalu tentu mengagetkan berbagai pihak. Terlebih pelaku mengajak serta anggota keluarganya untuk melakukan aksi tercela itu. Di sisi lain, ada juga yang serampangan mengeksploitasi dalil-dalil agama dengan mengandalkan pemikiran mereka.

Di sinilah pentingnya peran pandangan tengah dalam berkehidupan. Tidak terlalu ekstrem mengandalkan teks dan tidak juga terlalu mengandalkan nalar akal. Begitulah Islam yang mengedepankan sikap wasathiyah atau moderat.
Laku demikian sudah dicontohkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari memadukan teks dan akalnya. Pun dengan Imam Syafii yang menggunakan nalar dan teks guna menemukan hukum. Hal serupa dilakukan oleh Imam al-Ghazali yang memadukan syariat atau fikih dengan tasawwuf.

Demikian pula Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang memadukan agama dan nasionalisme. Kiai Hasyim melakukan hal ini untuk menengahkan dua kutub ekstrem, yakni golongan yang hanya mengandalkan nasionalismenya saja dan kelompok yang menonjolkan fanatisme keagamaannya.

Nasionalisme dan agama, sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali, merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisah satu sama lain. Dua hal itu memiliki hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Negara melindungi keberadaan agama, dan agama memberikan pengaruh positif untuk negara.

Wasathiyah sebagai Keadilan

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143.

وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَكُمْ اُمَّةَ وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدً...

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...

Ahmad Mustofa Al-Maroghi menafsirkan bahwa ayat tersebut bermakna Allah menjadikan orang-orang Muslim sebagai orang-orang pilihan dan berkeadilan. Pasalnya, kata al-Maraghi, umat Islam bukan kaum yang berlebihan dalam beragama, juga bukan kelompok yang sembrono dalam menunda-nunda urusan agama.

Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan bahwa lafal kadzalik itu berarti kama hadaynakum ilaihi, sebagaimana Kami hidayahkan kamu ke shirat mustaqim, yakni agama Islam itu sendiri. Ayat tersebut tidak terlepas dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa hidayah Allah itu diberikan kepada orang yang Allah kehendaki.

Lebih lanjut, Syeikh Ahmad Al-Showi mengomentari ayat tersebut, bahwa wasatha itu dia yang berilmu dan mengamalkannya, ay ashabu ilmin wa amalin. Senada dengan Imam al-Showi, Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani juga menafsirkan kata wasath dengan pilihan dan keadilan yang dipuji dengan ilmu dan amal.

Adapun Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim menulis,

يَقُوْلُ تَعَالَى اِنَّمَا حَوَّلْنَاكُمْ اِلَى قِبْلَةِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلَاُم وَاخْتَرْنَاهَا لَكُمْ لِنَجْعَلَكُمْ خِيَارَ الْاُمَمِ لِتَكُوْنُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُهَدَاءَ عَلَى الْاُمَمِ لِاَنَّ الْجَمِيْعَ مُعْتَرِفُوْنَ لَكُمْ بِالْفَضْلِ وَ الْوَسَطِ هَهُنَا الْخِيَارُ

Allah berfirman bahwa Kami mengubah kalian ke arah Ibrahim as. dan Kami memilihnya untukmu sekalian supaya kami menjadikan kalian umat pilihan untuk menjadi saksi pada hari kiamat atas umat yang lain, karena semuanya mengakui keutamaan dan ketengahan kalian. Inilah umat pilihan itu.

Lebih lanjut, masih dalam kitabnya, ulama asal Damaskus itu menyebutkan bahwa wasath berarti adil. Hal ini ia kutip dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Trimidzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah. Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan hadis lain dengan makna yang sama.

Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya Sofwatu al-Tafasir menjelaskan bahwa sebaik-baik sesuatu itu paling tengah di antaranya (awsath). Sementara berlebihan dan berkekurangan itu tercela. Ia juga mengutip Imam al-Thabari, bahwa kata wasath dalam pembicaraan orang-orang Arab berarti pilihan. Sementara ada juga yang menyebutkan wasath berarti adil.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Islam wasathiyah berarti Islam yang memegang teguh pada prinsip keadilan dalam segala aspek kehidupan. Sebab, adil tidak terbatas pada permasalahan hukum yang berarti tidak memihak. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V mengartikan kata tersebut dengan beberapa makna, yakni sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.

Saat bertindak sebagai khatib pada pernikahan putri Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyatakan bahwa kata ja’ala menunjukkan bahwa Allah menjadikan hal tersebut dengan ada campur tangan manusia. Dalam mewujudkan mawaddah dan rahmah dalam pernikahan, manusia berperan juga di dalamnya. Berbeda dengan kata khalaqa yang tidak ada campur tangan manusia sama sekali sebagaimana dalam penciptaan makhluk-Nya. Pun dengan ayat di atas. Dalam mewujudkan umat wasatha itu perlu ada ikhtiar dari manusianya.

Terminologi Adil menurut Mufassir

Quraish Shihab menekankan akidah dan etika dalam mewujudkan cita-cita sosial Islam. Ia menulis dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, “Cita-cita sosial Islam dimulai perjuangannya dengan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika dalam diri pemeluknya.”

Bahkan, karena etika tidak lepas dalam berkeadilan, sampai kepada musuh pun harus tetap berlaku adil. Allah dengan tegas melarang untuk berlaku tidak adil terhadap suatu kaum atau individu yang dibenci sekalipun dalam surat Al-Maidah ayat 8.

يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَانُ قَوْمٍ اَلَّا تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kebencian terhadap kaum jangan sampai mengantarkan kalian untuk meninggalkan bersikap adil terhadap mereka. Sebaliknya, keadilan harus diperlakukan terhadap rekan ataupun musuh. Sebab, lanjutnya, belaku adil itu mendekatkan kepada takwa. Artinya, adil itu sikap tidak membeda-bedakan orang.

Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebut kaum itu lebih spesifik lagi, yakni orang-orang kafir. Artinya, terhadap orang kafir pun, keadilan mesti ditegakkan. Menurut Imam Al-Showi dalam Hasyiyah ‘Ala Tafsir Al-Jalalain, kata kuffar yang dimaksud oleh Imam Al-Suyuthi di situ karena turunnya ayat tersebut pada kaum Quraisy yang menghalangi Nabi dari Masjidil Haram. Akan tetapi, maksudnya lebih umum dari itu.

Syeikh Ali al-Shabuni mengungkapkan, bahwa selain harus berlaku adil, kebencian terhadap seseorang atau kaum tertentu juga jangan sampai membawa ke jurang melaliminya, al-i’tidai ‘alaihim. Lebih lanjut, mengutip al-Zamakhsyari, al-Shabuni menulis bahwa keadilan terhadap orang kafi yang merupakan musuh Allah itu sebuah kewajiban. Hal ini, menurutnya, merupakan sebuah kekuatan.

Sementara itu, Syeikh Nawawi merincikan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau individu itu jangan sampai bertindak lalim kepada mereka dan melewati batas normal terhadap mereka. Sebaliknya, kata ulama asal Banten itu, meskipun kebencian sudah memuncak diubun-ubun, kita tetap harus belaku adil. Bahkan terhadap mereka yang bertindak tercela terhadap kita. Hal tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa Allah memerintahkan semua makhluk untuk tidak memperlakukan seseorang kecuali atas jalan tengah dan meninggalkan penindasan.

Dawam Rahardjo, dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, menulis bahwa kedekatan adil dengan takwa karena takwa mengandung kemampuan memilih antara yang baik dan buruk dengan pertimbangan-pertimbangan yang adil.

Begitupun terhadap kelompok yang memiliki kesamaan lain, seperti agama, suku, dan ras misalnya. Nabi mencontohkan untuk tetap berlaku adil kepada orang yang berbeda dalam berbagai seginya. Hal ini ditunjukkan dengan menganggap orang non-Arab sebagai bagian darinya. Quraish Shihab, dalam Wawasan Al-Qur’an, mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Asakir berikut.

ليست العربية باحدكم من اب و  لا  ام و انما هي باللسان فمن تكلم العربية فهو عربي

Kearaban yang melekat dalam diri kalian bukan disebabkan karena ayah dan tidak pula karena ibu, tetapi karena bahasa, sehingga siapa pun yang berbahasa Arab, dia adalah orang Arab.

Nabi bisa bersabda demikian karena ketiga sahabatnya, yakni Salman al-Farisi yang berasal dari Persia (sekarang Iran), Suhaib yang berasal dari Romawi, dan Bilal yang berasal dari Habasyah (sekarang Etiopia), diremehkan oleh orang-orang lain yang mengaku berbangsa Arab.

Keadilan jika dipraktikkan dalam sebuah hubungan keluarga juga akan berefek pada tumbuhnya suasana harmonis. Adil bukan berarti persis sama perlakuannya, tetapi sesuai dengan kebutuhannya. Misal, ketika anak sulung dengan kebutuhannya sebagai pelajar dan anak bungsu yang masih balita, tentu harus mendapat porsi nafkah yang berbeda. Hal ini bukannya tidak adil, melainkan keadilan dengan sesuai kadar kebutuhannya.

Dalam dunia politik misalnya, oposisi dan koalisi harus diperlakukan sama oleh pemerintah. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan sehingga perlakuan hukum terhadapnya menjadi berat sebelah. Hukuman pun harus diputuskan sesuai dengan kadar yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini kelihatannya belum nampak di Indonesia.

Dalam bidang ekonomi, keadilan juga harus mewujud dengan sistem yang baik. Dawam Rahardjo, dalam buku yang sama, menjelaskan bahwa Nabi Syu’aib diutus oleh Allah untuk menegakkan keadilan di antara bangsa Madyan yang makmur, tetapi sistem eknominya dinodai oleh perilaku bisnis yang tidak etis. Pasalnya, banyak kaumnya yang memalsukan berat timbangan.

Orang kaya juga mesti berlaku adil dengan memberikan sebagian hartanya kepada mereka yang berhak. Dengan demikian, ketimpangan sosial pun akan teratasi. Tidak seperti apa yang didendangkan oleh Roma Irama, Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Dalam hal pembangunan, keadilan juga harus ditegakkan. Pembangunan tidak terpusat pada satu daerah saja, melainkan harus merata ke seluruh penjuru negeri. Presiden Joko Widodo dalam hal ini tengah mewujudkan hal itu dengan dibangunnya beberapa akses transportasi, dari jalan, pelabuhan, hingga bandar udara.

Diskriminasi

Ketidakadilan bisa jadi bersumber dari prasangka sehingga melahirkan tindakan diskriminatif. Goldon Allport, seperti dikutip oleh Moenandar Soelaeman, menyatakan ada lima pendekatan untuk menentukan adanya diskriminasi, yakni historis, sosiokultural, kepribadian, fenomenologis, dan naive.

Pendekatan pertama pernah terjadi pada orang kulit putih yang merasa berada di kelas yang lebih tinggi sebagai tuan dari orang kulit hitam sebagai budak. Hal ini juga terjadi pada daerah penjajahan, penjajah mendiskriminasi orang yang dijajahnya. Demikian pula pada pribumi dan non-pribumi.

Hal terakhir ini pernah diembuskan pada pilihan gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2017 lalu. Basuki Tjahaja Purnama, seorang beretnis Tionghoa dilabeli sebagai orang non-pribumi. Diskriminasi itu terus disuarakan, bahkan hingga menjerat orang nomor satu di ibukota 2014-2017 itu ke jeruji besi.

Sebagaimana kita ketahui bersama, laku demikian menimbulkan gonjang-ganjing yang luar biasa. Bahkan, kebencian itu sampai menyulut emosi yang berlebihan hingga seorang Muslim yang berbeda pilihan tidak diperkenankan mendapat doa kala meninggalnya.

Di samping itu, diskriminasi juga bisa terjadi akibat mobilitas sosial, konflik antarkelompok, stigma perkantoran, dan sosialisasi. Misal, sekelompok geng motor yang berasal dari sebuah daerah berbuat ulah. Orang akan berprasangka buruk terhadap orang daerah tersebut sehingga melahirkan sikap diskriminasi mereka meskipun mereka bukan dari geng itu. Ini dengan pendekatan sosiokultural.

Selain itu, prasangka juga bisa disebabkan oleh kepribadian, fenomena, dan sorotan terhadap objek prasangkanya, seperti orang Madura terhadap orang Dayak dan sebaliknya.

Semua itu merupakan bentuk ketidakadilan yang tidak seharusnya muncul dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sikap adil harus muncul di setiap aspek kehidupan sehingga bangsa Indonesia dapat lebih sejahtera. Inilah bentuk wasathiyah. Hal ini perlu diusahakan oleh setiap individu, muslim khususnya.

Sikap adil ini perlu ditanamkan sejak dini dalam pikiran. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan, bahwa manusia harus adil sejak dalam pikiran. Jika pikirannya sudah adil, tentu hal ini akan berdampak pada lakunya.

Lebih lanjut, kata adil ternyata disebut dua kali dalam Pancasila, yakni pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya sikap adil dalam menjalani kehidupan. Sebab, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Ia bergantung dengan manusia lainnya.

Untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidupnya, manusia harus bertindak adil. Jika hidupnya sudah sejahtera, tentu hal tersebut berdampak pada kehidupan sosial lingkungannya.

*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Al-Qur'an At-Tijany
*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Musabaqah Maqalah Al-Qur'an (MMQ) pada Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Ke-45 Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Tahun 2018.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Al-Bantani, Muhammad Nawawi bin Umar. Marah Labid Tafsir al-Nawawi 1. Bandung: Al-Maarif.
Al-Dimasyqi, Imaduddin Abi al-Fida bin Ismail bin Katsir al-Qurasyi. Tafsir al-Qur’an al-Adzim 1. Indonesia: Nur Asia.
Al-Dimasyqi, Imaduddin Abi al-Fida bin Ismail bin Katsir al-Qurasyi. Tafsir al-Qur’an al-Adzim 2. Indonesia: Nur Asia.
Al-Maliki, Ahmad al-Shawi. Hasyiyah al-Allamah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain 1. Semarang: Toha Putra.
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir al-Maraghi 1. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Muqaddasi, Faydlullah al-Hasani. Fath al-Rahman lithalibi Ayat al-Qur’an. Jakarta: Dar al-Hikmah.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Shafwat al-Tafasir 1. Beirut: Al-Ashriyah.
Hakim, Taufiqul. 2004. Kamus al-Taufiq. Bangsri: Amtsilati.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Rahardjo, Dawam. 1996. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Shihab, Quraish. 2003. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pebagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.