
Islam Wasathiyah dalam Mewujudkan Kesejahteraan Indonesia
![]() |
| Penulis sedang mengikuti lomba MMQ (2018) |
Oleh:
Muhammad
Syakir Niamillah Fiza
Pendahuluan
Dunia masih saja dipenuhi dengan praktik terorisme yang bersumber
dari pemahaman yang radikal. Para pelaku mendasari tindakan mereka dengan
teks-teks agama. Mereka memandang teks sebagai murni teks dengan menafikan
konteksnya. Contohnya, ayat-ayat perang yang mereka jadikan landasan tindakan
digunakan serampangan. Padahal suasana lingkungannya sedang damai.
Hal itu pun terjadi di bumi Indonesia. Bom surabaya beberapa bulan
lalu tentu mengagetkan berbagai pihak. Terlebih pelaku mengajak serta anggota
keluarganya untuk melakukan aksi tercela itu. Di sisi lain, ada juga yang
serampangan mengeksploitasi dalil-dalil agama dengan mengandalkan pemikiran
mereka.
Di sinilah pentingnya peran pandangan tengah dalam berkehidupan.
Tidak terlalu ekstrem mengandalkan teks dan tidak juga terlalu mengandalkan
nalar akal. Begitulah Islam yang mengedepankan sikap wasathiyah atau
moderat.
Laku demikian sudah dicontohkan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
memadukan teks dan akalnya. Pun dengan Imam Syafii yang menggunakan nalar dan
teks guna menemukan hukum. Hal serupa dilakukan oleh Imam al-Ghazali yang
memadukan syariat atau fikih dengan tasawwuf.
Demikian pula Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang memadukan
agama dan nasionalisme. Kiai Hasyim melakukan hal ini untuk menengahkan dua
kutub ekstrem, yakni golongan yang hanya mengandalkan nasionalismenya saja dan
kelompok yang menonjolkan fanatisme keagamaannya.
Nasionalisme dan agama, sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali,
merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisah satu sama lain. Dua hal itu
memiliki hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Negara melindungi
keberadaan agama, dan agama memberikan pengaruh positif untuk negara.
Wasathiyah sebagai Keadilan
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143.
وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَكُمْ اُمَّةَ وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدً...
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat
pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...
Ahmad Mustofa Al-Maroghi menafsirkan bahwa ayat tersebut bermakna
Allah menjadikan orang-orang Muslim sebagai orang-orang pilihan dan
berkeadilan. Pasalnya, kata al-Maraghi, umat Islam bukan kaum yang berlebihan
dalam beragama, juga bukan kelompok yang sembrono dalam menunda-nunda urusan
agama.
Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan bahwa lafal kadzalik
itu berarti kama hadaynakum ilaihi, sebagaimana Kami hidayahkan kamu ke shirat
mustaqim, yakni agama Islam itu sendiri. Ayat tersebut tidak terlepas
dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa hidayah Allah itu diberikan
kepada orang yang Allah kehendaki.
Lebih lanjut, Syeikh Ahmad Al-Showi mengomentari ayat tersebut,
bahwa wasatha itu dia yang berilmu dan mengamalkannya, ay ashabu
ilmin wa amalin. Senada dengan Imam al-Showi, Syeikh Muhammad Nawawi bin
Umar al-Bantani juga menafsirkan kata wasath dengan pilihan dan keadilan
yang dipuji dengan ilmu dan amal.
Adapun Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim
menulis,
يَقُوْلُ تَعَالَى اِنَّمَا حَوَّلْنَاكُمْ اِلَى قِبْلَةِ اِبْرَاهِيْمَ
عَلَيْهِ السَّلَاُم وَاخْتَرْنَاهَا لَكُمْ لِنَجْعَلَكُمْ خِيَارَ الْاُمَمِ لِتَكُوْنُوْا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُهَدَاءَ عَلَى الْاُمَمِ لِاَنَّ الْجَمِيْعَ مُعْتَرِفُوْنَ
لَكُمْ بِالْفَضْلِ وَ الْوَسَطِ هَهُنَا الْخِيَارُ
Allah berfirman bahwa Kami mengubah kalian ke arah Ibrahim as. dan
Kami memilihnya untukmu sekalian supaya kami menjadikan kalian umat pilihan
untuk menjadi saksi pada hari kiamat atas umat yang lain, karena semuanya
mengakui keutamaan dan ketengahan kalian. Inilah umat pilihan itu.
Lebih lanjut, masih dalam kitabnya, ulama asal Damaskus itu menyebutkan
bahwa wasath berarti adil. Hal ini ia kutip dari hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Imam Trimidzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah. Imam Ahmad
bin Hanbal juga meriwayatkan hadis lain dengan makna yang sama.
Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam kitabnya Sofwatu al-Tafasir
menjelaskan bahwa sebaik-baik sesuatu itu paling tengah di antaranya (awsath).
Sementara berlebihan dan berkekurangan itu tercela. Ia juga mengutip Imam
al-Thabari, bahwa kata wasath dalam pembicaraan orang-orang Arab berarti
pilihan. Sementara ada juga yang menyebutkan wasath berarti adil.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Islam wasathiyah
berarti Islam yang memegang teguh pada prinsip keadilan dalam segala aspek
kehidupan. Sebab, adil tidak terbatas pada permasalahan hukum yang berarti
tidak memihak. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V mengartikan kata tersebut
dengan beberapa makna, yakni sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak
kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang.
Saat bertindak sebagai khatib pada pernikahan putri Presiden Joko
Widodo, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj
menyatakan bahwa kata ja’ala menunjukkan bahwa Allah menjadikan hal
tersebut dengan ada campur tangan manusia. Dalam mewujudkan mawaddah dan
rahmah dalam pernikahan, manusia berperan juga di dalamnya. Berbeda
dengan kata khalaqa yang tidak ada campur tangan manusia sama sekali
sebagaimana dalam penciptaan makhluk-Nya. Pun dengan ayat di
atas. Dalam mewujudkan umat wasatha itu perlu ada ikhtiar dari
manusianya.
Terminologi Adil menurut Mufassir
Quraish Shihab menekankan akidah dan etika dalam mewujudkan
cita-cita sosial Islam. Ia menulis dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an,
“Cita-cita sosial Islam dimulai perjuangannya dengan menumbuhsuburkan
aspek-aspek akidah dan etika dalam diri pemeluknya.”
Bahkan, karena etika tidak lepas dalam berkeadilan, sampai kepada
musuh pun harus tetap berlaku adil. Allah dengan tegas melarang untuk berlaku
tidak adil terhadap suatu kaum atau individu yang dibenci sekalipun dalam surat
Al-Maidah ayat 8.
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ للهِ شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَانُ قَوْمٍ اَلَّا تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا
هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kebencian
terhadap kaum jangan sampai mengantarkan kalian untuk meninggalkan bersikap
adil terhadap mereka. Sebaliknya, keadilan harus diperlakukan terhadap rekan
ataupun musuh. Sebab, lanjutnya, belaku adil itu mendekatkan kepada takwa.
Artinya, adil itu sikap tidak membeda-bedakan orang.
Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebut kaum itu lebih
spesifik lagi, yakni orang-orang kafir. Artinya, terhadap orang kafir pun,
keadilan mesti ditegakkan. Menurut Imam Al-Showi dalam Hasyiyah ‘Ala Tafsir
Al-Jalalain, kata kuffar yang dimaksud oleh Imam Al-Suyuthi di situ
karena turunnya ayat tersebut pada kaum Quraisy yang menghalangi Nabi dari
Masjidil Haram. Akan tetapi, maksudnya lebih umum dari itu.
Syeikh Ali al-Shabuni mengungkapkan, bahwa selain harus berlaku
adil, kebencian terhadap seseorang atau kaum tertentu juga jangan sampai
membawa ke jurang melaliminya, al-i’tidai ‘alaihim. Lebih lanjut,
mengutip al-Zamakhsyari, al-Shabuni menulis bahwa keadilan terhadap orang kafi
yang merupakan musuh Allah itu sebuah kewajiban. Hal ini, menurutnya, merupakan
sebuah kekuatan.
Sementara itu, Syeikh Nawawi merincikan bahwa kebencian terhadap
suatu kaum atau individu itu jangan sampai bertindak lalim kepada mereka dan
melewati batas normal terhadap mereka. Sebaliknya, kata ulama asal Banten itu, meskipun
kebencian sudah memuncak diubun-ubun, kita tetap harus belaku adil. Bahkan
terhadap mereka yang bertindak tercela terhadap kita. Hal tersebut, lanjutnya,
menunjukkan bahwa Allah memerintahkan semua makhluk untuk tidak memperlakukan
seseorang kecuali atas jalan tengah dan meninggalkan penindasan.
Dawam Rahardjo, dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, menulis bahwa kedekatan adil dengan takwa
karena takwa mengandung kemampuan memilih antara yang baik dan buruk dengan pertimbangan-pertimbangan
yang adil.
Begitupun terhadap kelompok yang memiliki kesamaan lain, seperti
agama, suku, dan ras misalnya. Nabi mencontohkan untuk tetap berlaku adil
kepada orang yang berbeda dalam berbagai seginya. Hal ini ditunjukkan dengan
menganggap orang non-Arab sebagai bagian darinya. Quraish Shihab, dalam Wawasan
Al-Qur’an, mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Asakir berikut.
ليست العربية باحدكم من اب و
لا ام و انما هي باللسان فمن تكلم
العربية فهو عربي
Kearaban yang melekat dalam diri kalian bukan disebabkan karena
ayah dan tidak pula karena ibu, tetapi karena bahasa, sehingga siapa pun yang
berbahasa Arab, dia adalah orang Arab.
Nabi bisa bersabda demikian karena ketiga sahabatnya, yakni Salman
al-Farisi yang berasal dari Persia (sekarang Iran), Suhaib yang berasal dari
Romawi, dan Bilal yang berasal dari Habasyah (sekarang Etiopia), diremehkan
oleh orang-orang lain yang mengaku berbangsa Arab.
Keadilan jika dipraktikkan dalam sebuah hubungan keluarga juga akan
berefek pada tumbuhnya suasana harmonis. Adil bukan berarti persis sama
perlakuannya, tetapi sesuai dengan kebutuhannya. Misal, ketika anak sulung
dengan kebutuhannya sebagai pelajar dan anak bungsu yang masih balita, tentu
harus mendapat porsi nafkah yang berbeda. Hal ini bukannya tidak adil,
melainkan keadilan dengan sesuai kadar kebutuhannya.
Dalam dunia politik misalnya, oposisi dan koalisi harus
diperlakukan sama oleh pemerintah. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan sehingga
perlakuan hukum terhadapnya menjadi berat sebelah. Hukuman pun harus diputuskan
sesuai dengan kadar yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini
kelihatannya belum nampak di Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, keadilan juga harus mewujud dengan sistem
yang baik. Dawam Rahardjo, dalam buku yang sama, menjelaskan bahwa Nabi Syu’aib
diutus oleh Allah untuk menegakkan keadilan di antara bangsa Madyan yang
makmur, tetapi sistem eknominya dinodai oleh perilaku bisnis yang tidak etis.
Pasalnya, banyak kaumnya yang memalsukan berat timbangan.
Orang kaya juga mesti berlaku adil dengan memberikan sebagian
hartanya kepada mereka yang berhak. Dengan demikian, ketimpangan sosial pun
akan teratasi. Tidak seperti apa yang didendangkan oleh Roma Irama, Yang
kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Dalam hal pembangunan, keadilan juga harus ditegakkan. Pembangunan
tidak terpusat pada satu daerah saja, melainkan harus merata ke seluruh penjuru
negeri. Presiden Joko Widodo dalam hal ini tengah mewujudkan hal itu dengan
dibangunnya beberapa akses transportasi, dari jalan, pelabuhan, hingga bandar
udara.
Diskriminasi
Ketidakadilan bisa jadi bersumber dari prasangka sehingga
melahirkan tindakan diskriminatif. Goldon Allport, seperti dikutip oleh
Moenandar Soelaeman, menyatakan ada lima pendekatan untuk menentukan adanya
diskriminasi, yakni historis, sosiokultural, kepribadian, fenomenologis, dan
naive.
Pendekatan pertama pernah terjadi pada orang kulit putih yang
merasa berada di kelas yang lebih tinggi sebagai tuan dari orang kulit hitam
sebagai budak. Hal ini juga terjadi pada daerah penjajahan, penjajah
mendiskriminasi orang yang dijajahnya. Demikian pula pada pribumi dan
non-pribumi.
Hal terakhir ini pernah diembuskan pada pilihan gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 2017 lalu. Basuki Tjahaja Purnama, seorang beretnis
Tionghoa dilabeli sebagai orang non-pribumi. Diskriminasi itu terus disuarakan,
bahkan hingga menjerat orang nomor satu di ibukota 2014-2017 itu ke jeruji
besi.
Sebagaimana kita ketahui bersama, laku demikian menimbulkan
gonjang-ganjing yang luar biasa. Bahkan, kebencian itu sampai menyulut emosi
yang berlebihan hingga seorang Muslim yang berbeda pilihan tidak diperkenankan
mendapat doa kala meninggalnya.
Di samping itu, diskriminasi juga bisa terjadi akibat mobilitas
sosial, konflik antarkelompok, stigma perkantoran, dan sosialisasi. Misal,
sekelompok geng motor yang berasal dari sebuah daerah berbuat ulah. Orang akan
berprasangka buruk terhadap orang daerah tersebut sehingga melahirkan sikap
diskriminasi mereka meskipun mereka bukan dari geng itu. Ini dengan pendekatan
sosiokultural.
Selain itu, prasangka juga bisa disebabkan oleh kepribadian,
fenomena, dan sorotan terhadap objek prasangkanya, seperti orang Madura
terhadap orang Dayak dan sebaliknya.
Semua itu merupakan bentuk ketidakadilan yang tidak seharusnya
muncul dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sikap adil harus muncul di setiap
aspek kehidupan sehingga bangsa Indonesia dapat lebih sejahtera. Inilah bentuk wasathiyah.
Hal ini perlu diusahakan oleh setiap individu, muslim khususnya.
Sikap adil ini perlu ditanamkan sejak dini dalam pikiran.
Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah menyatakan, bahwa manusia harus adil
sejak dalam pikiran. Jika pikirannya sudah adil, tentu hal ini akan berdampak
pada lakunya.
Lebih lanjut, kata adil ternyata disebut dua kali dalam Pancasila,
yakni pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan
sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal
ini menunjukkan pentingnya sikap adil dalam menjalani kehidupan. Sebab, manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Ia bergantung dengan
manusia lainnya.
Untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidupnya, manusia
harus bertindak adil. Jika hidupnya sudah sejahtera, tentu hal tersebut
berdampak pada kehidupan sosial lingkungannya.
*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Al-Qur'an At-Tijany
*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam Musabaqah Maqalah Al-Qur'an (MMQ) pada Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Ke-45 Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Tahun 2018.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Al-Karim. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Al-Bantani,
Muhammad Nawawi bin Umar. Marah Labid Tafsir al-Nawawi 1. Bandung:
Al-Maarif.
Al-Dimasyqi,
Imaduddin Abi al-Fida bin Ismail bin Katsir al-Qurasyi. Tafsir al-Qur’an
al-Adzim 1. Indonesia: Nur Asia.
Al-Dimasyqi,
Imaduddin Abi al-Fida bin Ismail bin Katsir al-Qurasyi. Tafsir al-Qur’an
al-Adzim 2. Indonesia: Nur Asia.
Al-Maliki,
Ahmad al-Shawi. Hasyiyah al-Allamah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain
1. Semarang: Toha Putra.
Al-Maraghi,
Ahmad Mustofa. Tafsir al-Maraghi 1. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Muqaddasi,
Faydlullah al-Hasani. Fath al-Rahman lithalibi Ayat al-Qur’an. Jakarta:
Dar al-Hikmah.
Al-Shabuni,
Muhammad Ali. Shafwat al-Tafasir 1. Beirut: Al-Ashriyah.
Hakim,
Taufiqul. 2004. Kamus al-Taufiq. Bangsri: Amtsilati.
Munawwir, Ahmad
Warson. 1984. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Rahardjo,
Dawam. 1996. Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci. Jakarta: Paramadina.
Shihab,
Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan.
Shihab,
Quraish. 2003. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pebagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan.
